Senin, 10 November 2014

Dengan Mekanisasi Pasti Berseri!

Ingin harga jual gabah menjadi wah? Mari terapkan mekanisasi.
Peranan mekanisasi tidak bisa diabaikan lagi. Selain mengurangi kehilangan hasil, mekanisasi meningkatkan mutu gabah dan beras yang dihasilkan. Ujung-ujungnya, keuntungan yang diterima petani akan menjadi tinggi. Tidak percaya?
Harga Bersaing
Menurut Raswin Widjaja, Presiden Direktur PT Tri Mitra Sukses Bersama, penanganan pascapanen padi terdiri dari dua tahap. Tahap pertama sejak pemanenan hingga penyimpanan dan tahap kedua proses penggilingan gabah menjadi beras di pabrik beras (Rice Milling Unit, RMU).
Untuk memanen padi secara mekanik, petani bisa menggunakan alat pemotong padi (paddy reaper), alat perontok padi (thresher), atau alat pemotong padi sekaligus perontok bulir padi (combine harvester). Gabah yang telah dirontokkan, dikeringkan menggunakan alat pengering (dryer). Agar kualitas gabah tetap terjaga dan terhindar dari serangan hama seperti kutu, ulat, atau tikus, gabah kering itu harus disimpan di dalam gudang (silo) yang memiliki pengaturan suhu udara. Selanjutnya, gabah kering itu digiling menjadi beras dan siap dipasarkan.
Raswin menerangkan, RMU yang bagus akan menghasilkan beras kualitas premium. Beras premium dengan harga bersaing yang diminati konsumen akan mendorong kenaikan harga dan permintaan gabah. Ujungnya, sektor hulu pun ikut bergairah. Petani akan semangat menanam padi. Sebelum memasuki RMU, beras berkualitas bisa dihasilkan setelah melalui tahapan pengeringan dan penyimpanan yang terkontrol.
Fikri Ramadhan, Indonesia Local Assistant MANAGER Han-A System Co. Ltd. mengatakan, “Kalau beras asalan (rusak) dibawa ke pasar atau ke pabrik yang besar untuk dijual, ini murah sekali. Paling cuma dihargai Rp3.000 - Rp4.000/kg.” Sementara, saat ini masyarakat berani membayar hingga Rp10 ribu/kg untuk mendapatkan beras yang bagus.
Mohamach Abdoula, Direktur Pengembangan Bisnis PT Vietindo Jaya menimpali, penggunaan mekanisasi selain menyelamatkan hasil dan meningkatkan kualitas panen, juga bisa mendongkrak pendapatan petani. “Dengan alat, petani yang biasanya jual beras hanya Rp4.000/kg sekarang bisa jual beras Rp6.000/kg. Spare Rp2.000/kg. Di situlah yang namanya merebut margin pertanian,” tukasnya bersemangat.
Kurangi Susut Hasil
Udhoro Kasih Anggoro, Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian menerangkan, mekanisasi pertanian turut memberi dampak pada upaya penurunan kehilangan hasil saat panen. Studi susut hasil panen dan pascapanen menunjukkan, panen menggunakan sabit biasa dan perontokan dengan gebot akan susut sebesar 8,1% - 9,4%, sedangkan panen menggunakan sabit bergerigi sebesar 7,8%.
Dibanding menggunakan sabit biasa, pemanenan dengan sabit bergerigi bisa menyelamatkan susut hasil sebesar 0,95%. Aplikasi mesin panen (reaper) yang diikuti mesin perontok (thresher), akan menurunkan susut hasil saat panen menjadi 6,1% - 6,7%. “Dengan demikian, potensi penyelamatan susut hasil dari kegiatan panen sampai menjadi gabah kering panen yang dapat dicapai rata-rata sebesar 2,35%,” tukas Anggoro.
W. Shinta A., Marketing MANAGER PT Om Hwahaha, produsen mesin panen padi multifungsi di Gresik, Jatim, memaparkan, pemanfaatan mesin panen, kehilangan padi hanya sekitar 1% - 3%. Pasalnya, setelah dipotong padi langsung ditransfer ke perontok sehingga kehilangan bulir padi dapat terminimalisasi. Selain itu, tidak adanya batang padi yang tidak terpotong membuat kehilangan butir padi menjadi sangat kecil. “Jadi dengan memakai mesin panen, hasil panen yang dapat diselamatkan sekitar 5% - 12%,” jelas Shinta.
Selain itu, mekanisasi pertanian turut membantu menyelesaikan persoalan kurangnya tenaga kerja di bidang pertanian dan mempercepat proses pemanenan. Penggunaan mesin panen padi dapat mengurangi pemakaian tenaga kerja dari kisaran penggunaan tenaga kerja 30 - 50 HOK (Hari Orang Kerja)/ha menjadi hanya 3 orang per mesin pemanen. Satu unit mesin pemanen padi dapat memanen padi seluas 4-6 ha/hari sehingga sangat membantu kecepatan dan efisiensi panen padi.
Tiga Kali Panen Balik Modal
Selain paddy reaper dan thresher, penggunaan combine harvester cukup diminati. Aktivitas petani menggunakan Combine harvester yang lalu lalang memanen padi bukan lagi pemandangan asing di Provinsi Sulawesi Selatan, seperti di Kota Sengkang, Kab. Sidrap, dan Kab. Bone. Selain petani, pemilik pabrik beras (RMU) pun ikut membeli combine harvester agar tidak kehabisan suplai padi yang tersedia di lapang. Pengusaha beras itu memberikan jasa pemanenan secara gratis demi beroleh gabah dari petani.
Kondisi ini diamini Dr. Abi Prabowo, Peneliti Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBPMP), Serpong, Badan Litbang Pertanian. Abi menambahkan, di Sidrap ada satu kecamatan yang memiliki 30 unit combine harvester. ”Di sana dipakai berukuran besar, harganya Rp350 juta/unit. Itu tiga kali musim panen sudah kembali,” ujar Abi.
Di Pulau Jawa penggunaan combine harvester juga mulai marak. Di Cilacap, Jateng berkembang Asosiasi Alsin Indonesia yang sukses mengelola jasa penyewaan alat dan mesin pertanian mulai dari pengolah tanah hingga pengering padi. Keuntungannya pun cukup menggiurkan. Serupa Cilacap, di Lamongan, Jatim juga ada petani pengguna dan penyewa combine harvester. Ia mengaku cukup 3-4 kali musim panen atau sekitar 1,5-2 tahun kembali modal pembelian combine harvester.
Modifikasi
Cukup banyak ragam jenis combine harvester yang ditawarakan di pasar dari buatan lokal hingga mancanegara. Di antaranya combine harvester rakitan BBPMP dan PT Om Hwahaha.
Combine harvester kreasi BBPMP bersifat spesifik lokasi untuk lahan di Indonesia yang umumnya berupa lahan sawah irigasi. Jika drainasenya jelek, tidak semua mesin harvester bisa masuk. Gaya tekan combine harvester yang umum beredar di pasaran sekitar 0,20 kg/cm2. Sedangkan gaya tekan Indo Combine Harvester milik BBPMP hanya sebesar 0,13 kg/cm2. “Itu keunggulan hasil rekayasa kami. Kaki masuk 30 cm masih bisa dioperasikan. Lebih ringan dibanding banyak yang ada di pasaran,” papar Abi.
Makin kecil gaya tekan mesin ke permukaan tanah akan memperkecil peluang terjadinya mesin terperosok ke dalam tanah. Ir. Cicik Sriyanto, Kepala Seksi Kerjasama BBPMP mengungkapkan, pertimbangan ini sangat penting karena umumnya kondisi sawah di Indonesia memiliki fasilitas infrastruktur drainase yang jelek sehingga tanahnya lembek. Selain itu, “Dengan lebar kerja 1,2 m, Indo Combine Harvester sangat cocok untuk petakan sawah yang sempit,” imbuhnya.
Sementara, mesin pascapanen rakitan PT Om Hwahaha bersifat multifungsi. Selain bisa menanam, juga bisa untuk membajak, serta dapat berfungsi sebagai mesin rotary untuk mengggemburkan tanah. “Kami memproduksi mesin panen dengan sistem roda yang dapat diganti untuk berjalan di jalan raya sehingga pengguna tidak perlu kendaraan pengangkut. Kami juga telah mematenkannya karena belum ada mesin panen multifungsi seperti ini baik di dalam maupun luar negeri,” terang Shinta sambil berpromosi PT Om Hwahaha sebagai produsen pertama mesin panen padi multifungsi di Indonesia.
Cicik mengingatkan, sebelum memperkenalkan alat pascapanen di suatu daerah, produsen harus melihat kondisi spesifik lokasi. Kondisi infrastruktur seperti tidak adanya jalan yang memadai menjadi salah satu pertimbangan. Kondisi lokasi juga akan menentukan desain combine harvesteryang digunakan. “Ukuran besar-kecil alat, jenis combine manual atau mekanik,” imbuh Raswin. 
Jika combine harvester sudah dimiliki, yang paling utama adalah cara merawatnya. Mesin yang telah dipakai, ujar Shinta, harus segera disemprot untuk menghilangkan lumpur yang menempel. Selanjutnya, tambahkan grease (gemuk) atau oli untuk bagian yang diperlukan. Lakukan penggantian oli secara berkala sesuai ketentuan agar mesin tidak cepat rusak.
Menjamin Ketahanan Pangan
Untuk menjamin ketahanan pangan yang lebih pasti, pemerintah harus memiliki fasilitas pergudangan yang terkontrol dan mencukupi buat menyimpan hasil panen. Sebelum disimpan, gabah harus dikeringkan terlebih dahulu hingga mencapai kadar air 14% agar tidak rusak ketika disimpan dan digiling.

Gabah yang dikeringkan dengan dryersistem resirkulasi akan menghasilkan kadar air dan tingkat kekeringan merata. Menurut Raswin, penyelamatan beras rusak (broken) yang dikeringkan dengan dryersebesar 5%-10% yang terjadi akibat daripada dikeringkan secara manual di lantai jemur. Beras rusak ini terjadi akibat proses pengeringan yang tidak merata, pengadukan, hingga terinjak-injak saat proses pengadukan.
Selanjutnya, sambung Mohamach, pengeringan harus berorientasi ke bioenergi, seperti sekam, bonggol jagung, hingga cangkang kelapa sawit. “Jangan pakai solar atau minyak tanah. Orientasinya harus energi yang terbarukan,” cetusnya. Penggunaan bioenergi, timpal Raswin, lebih menghemat pemakaian bahan bakar.Dryer hanya membutuhkan 100-150 kg sekam/jam dengan harga sekitar Rp60/kg. Sedangkan menggunakan minyak tanah mencapai 48 lt/jam dengan harga sekitar Rp10 ribu/lt.
Untuk penyimpanan sekaligus stok pangan nasional, Raswin menyarankan penggunaan silo. Karena, “Gabah lebih bersih, terjamin mutunya selama dalam penyimpanan tanpa menggunakan karung sehingga hemat biaya, dapat mengawasi suhu gabah untuk menjamin mutu gabah tidak rusak dalam waktu lama sekitar 2-3 tahun, proses pemindahan gabah yang sangat cepat: 60-25O ton/jam,” paparnya.
Beras Prima
Beras prima dengan harga jual bagus dihasilkan dari mesin beras (RMU) yang bagus dan berkapasitas besar. “Mesin proses beras dalam kapasitas besar dapat menyerap produksi padi yang lebih terjamin,” ulas Raswin.
Menurut Fikri, proses penggilingan padi ada tiga tahap utama, yaitu pembersihan (cleaner), pengolahan, dan pemisahan (grading). Tahap pertama, gabah yang telah kering dibersihkan dari sisa-sisa jerami dan benda asing lainnya, seperti plastik. Tahap kedua, gabah akan dibuka dan pecahkan kulitnya untuk menghasilkan beras. “Apakah akan dijadikan beras putih atau merah, kulit arinya masih disisakan atau tidak, di sini tempatnya,” terang Fikri. Pada tahap ini beras akan dipoles (polish) menjadi beras bening dan mengkilap.
Tahap ketiga, grading bertujuan memisahkan beras utuh dengan beras rusak karena patah. Menurut Fikri, grading merupakan titik kontrol kualitas. Sebab selain ukuran, pada tahap ini juga beras disortir berdasarkan kualitas warnanya menggunakan mesin color sorter. “Misalkan beras yang standar kita bagus warnanya bening mengkilap, beras yang nggak disortir warnanya kuning, merah, hijau, dan hitam,” ia menjabarkan. Selanjutnya akan dihasilkan beras kualitas prima yang siap dipasarkan. Sedangkan beras kualitas jelek masih bisa diolah untuk makanan ternak.
Raswin menambahkan, RMU yang bagus harus disertakan dengan fasilitas conveyor (peralatan pemindahan) yang sesuai untuk menjamin processing flow (alur pengolahan) yang merata. Penggunaan RMU juga harus tepat waktu, tepat sasaran, dan memiliki kapasitas sama rata untuk menghasilkan beras kualitas prima.

source:
http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=7&aid=4802

-Suryati Purba
13307

Pestisida Nabati Tembakau Peluang di Balik Pro Kontra


Kampanye anti rokok terus didengungkan berbagai kalangan. Bahkan dalam kemasan rokok itu sendiri tertera bahaya merokok yakni mengakibatkan kanker, pernafasan dan mengganggu pertumbuhan janin.
Kampanye anti rokok itupun berimbas pada komoditi tembakau, sebagai bahan baku utama. Namun di balik bahaya-bahaya merokok tersebut, ternyata tembakau masih ada manfaatnya, khususnya untuk perlindungan tanaman.
Tembakau bisa menjadi pestisida nabati. Dengan demikian, petani bisa mengurangi ketergantungan penggunaan pestisida sintetik. Pada kasus tertentu, terkadang ada satu jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) tidak mampu dikendalikan pestida tertentu. Namun setelah aplikasi pestisida nabati (pesnab) dari tembakau justru OPT tersebut mampu dikendalikan.
Pesnab dari tembakau bisa dibuat dari limbah tembakau. Di daerah sentra tembakau, biasanya banyak limbah berupa batang, akar dan daun banyak ditinggalkan petani. Data dari perusahaan rokok, ampas tembakau dari sebuah perusahaan rokok dapat mencapai 6 ton per hari. Padahal untuk membuang sampah tersebut, perusahaan harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit. Bila peluang ini dimanfaatkan secara baik, maka akan terjadi sinergitas mutualistis.
Kelebihan pestisida nabati dari hasil fermentasi limbah tembakau dapat efektif mengendalikan OPT dengan selektifitas yang lebih tinggi. Dengan demikian, tidak akan membunuh organisme yang lain. Reaksinya juga cepat, aman bagi tanaman lain (tanaman tidak akan keracunan), toksisitas terhadap mamalia rendah dan dapat menghentikan nafsu makan serangga.
Namun ada beberapa kelemahan pesnab tembakau. Misalnya, kurang bisa bertahan lama, cepat terurai, produksi massal dalam jumlah besar agak sulit dilakukan. Beberapa kelemahan itu bisa diantisipasi dengan mencampurkan cairan semprot dengan perekat dan pencampur. Pada prakteknya petani biasanya menggunakan sabun colek sebanyak 125 gram per tangki sprayer (14 liter).
Cara Kerja
Cara kerja pesnab sebenarnya hampir sama dengan insektisida sintetik. Namun kelebihannya tidak menimbulkan residu dan toksisitas terhadap tanaman. Beberapa cara kerja yang diketahui sebagai berikut: repellent (penolakan terhadap kedatangan serangga), antifeedant (mencegah serangga memakan bagian tanaman, meletakkan telur, menghentikan proses penetasan). Selain itu meracuni sistem syaraf, mengacaukan sistem hormon, atraktan (pemikat kehadiran serangga), racun kontak, perut dan pernafasan.
Selain sebagai pesnab, daun tembakau dapat juga dimanfaatkan menjaga kesehatan kulit manusia. Hal ini dikemukakan Prof. Dr. Sutiman B. Sumitro pakar teknologi nano dari Universitas Brawijaya, penggunaan tembakau untuk balur dan scrab herbal. Hal ini dapat menyembuhkan luka serta meningkatkan kesehatan kulit.

~Suryati Purba
13307

source:
http://m.tabloidsinartani.com/index.php?id=148&tx_ttnews%5Btt_news%5D=774&cHash=625929caa54e6eaf15ebc0f836571f46

Minggu, 09 November 2014

Mikroalga sebagai Penyerap Karbon dan Pengganti BBM

Posted By :
Name : Juli Permata Sari
Student No. : 13221

Fenomena pemanasan global atau juga yang sering disebut sebagai Global Warming bukan lagi merupakan fenomena terbaru bagi seluruh umat manusia yang hidup di bumi ini. Hampir setiap negara di seluruh dunia menyaksikan dampak dari fenomena ini.
Pemansan global (Global warming) adalah meningkatnya rata-rata suhu atmosfer, laut dan daratan bumi.  Pemanasan global atau perubahan iklim tersebut dipicu oleh meningkatnya gas rumah kaca (GRK), salah satunya adalah karbondioksida (CO2). Pemanasan global atau perubahan iklim memberikan dampak, seperti suhu yang semakin meningkat, kerusakan ekosistem, pola hujan yang tidak teratur dan akibat-akibat lainnya. Di Indonesia ataupun dunia internasional terus berusaha untuk menahan bahkan mengurangi meningkatnya gas rumah kaca tersebut. Seperti melalui kebijakan-kebijakan (Protokol Kyoto, Emisision Trading, Joint Implementation), ataupun melalui usaha penghijauan, menciptakan energi terbarukan dan menerapkan teknologi penangkapan karbon yang punya istilah keren Carbon Capture Storage (CCS).
          CCS (Carbon Capture Storage) merupakan sebuah teknologi yang dapat menangkap sekitar 90% emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil dan proses industri. Teknologi CCS juga mempunyai beberapa metode yang dapat diterapkan seperti penstabilan emisi CO2 menjadi bentuk cair untuk diinjeksikan ke formasi geologi, pengoksidasian emisi gas CO2 menjadi senyawa lain melalui artificial tree dan beberapa metode lainnya. Di Indonesia teknologi CCS ini lebih berkembang ke arah teknologi secara biologi atau istilah kerennya Biological Carbon Capture Storage (BCCS). Untuk penerapan BCCS ini dapat diterapkan melalui fotobioreaktor dan kolam kultur
          Fotobioreaktor adalah reaktor yang dirakit dari bahan tembus pandang semisal akrilik yang dilengkapi dengan instalasi suplai media dan emisi gas untuk mengkultur mikroalga yang bertujuan penangkapan atau penyerapan gas CO2. Dalam penerapannya, fotobioreaktor tersebut memanfaatkan mikroalga seperi Chlorella sp seperti yang sudah diterapkan oleh Pusat Teknologi Lingkungan - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTL-BPPT).
Fotobioreaktor (Dok. Pribadi)

         Pada tahun 2008, PTL-BPPT berhasil mengembangkan teknologi fotobioreaktor (Single Tubular Airlift Photobioreactor) mikroalga untuk menyerap CO2 dalam skala Batch. Dan pada 2009, dikembangkan menjadi Multi Tubular Airlift Photobioreactor dan pada tahun 2010, teknologi ini diterapkan di salah satu industri susu untuk menyerap CO2 sebesar 1 gr CO2/liter media kultur/ hari. Jadi, apabila diterapkan dengan 2 unit fotobioreaktor (volume masing-masing 75 L), maka CO2 yang dapat terserap sebesar 150 gr CO2 / hari dan apabila fotobioreaktor ini dapat diaplikasikan secara kontinu, maka CO2 yang dapat terserap sebesar 4.5 kg CO2.

        Selain bermanfaat dalam menyerap karbon, mikroalga juga ternyata punya potensi untuk dikembangkan menjadi biofuel. Jadi kita dapat memanfaatkan kembali mikroalga (Chlorella sp) tersebut dalam bentuk biomassa mikroalga untuk dipanen dan diekstraksi menjadi biofuel. Banyak penelitian tentang jenis mikroalga dan tiap jenis tersebut punya kandungan minyak yang bervariasi, seperti Chlorella sp mencapai 15-55%. Selain kandungan minyaknya yang tinggi, mikroalga jenis Chlorella sp mempunyai kandungan karbohidrat dan protein sebesar 12-17 %.


Persiapan Sektor Pertanian dalam Menghadapi Pemberlakuan AEC 2015


Post by  : 


Prahesti Elizani, STP / Penyuluh Pertanian DIY





Apa itu AEC ? Apakah dunia usaha mikro maupun petani sudah pernah mendengar akan hal ini? Dengan pemberlakuan AEC nantinya petanilah yang akan menghadapi secara langsung dampaknya, penyuluh pertanian dari negara ASEAN lainnya pun akan dengan terbuka dan diperbolehkan masuk ke Indonesia.  AEC (ASEAN Economic Community) adalah sebuah komunitas negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN demi terwujudnya ekonomi yang terintegrasi, negara-negara tersebut bergabung dan memberlakukan sistem single market yang artinya terbuka dalam melakukan perdagangan barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja.
Pemberlakuan AEC di tahun 2015 ini bisa menjadi ancaman tetapi bisa juga menjadi peluang bagi dunia pertanian Indonesia. Hikmah lainnya adalah dengan adanya AEC 2015 ini bisa digunakan sebagai ajang pemanasan dalam menghadapi perdagangan bebas APEC 2020 nantinya yang dianggap lebih berat tantangannya daripada AEC 2015.
Tetapi petani Indonesia juga layak khawatir dikarenakan dengan pemberlakuan AEC maka hal ini sangat dekat dengan persaingan yang terbuka. Apabila tidak dipersiapkan secara optimal bisa jadi Indonesia hanya sebagai penonton/pasar bagi produk pertanian negara ASEAN lainnya. Sebenarnya persaingan merupakan hal yang wajar bila dilakukan dengan cara profesional, artinya produk pertanian Indonesia juga harus siap berkompetisi dengan produk luar yang akan masuk nantinya, baik dari segi mutu maupun harga jual. Karena itu peningkatan daya saing merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Produk pertanian yang dihasilkan sebaiknya adalah yang mempunyai value added tinggi, kompetitif, disukai konsumen atau laku di pasar, dan ada setiap saat dibutuhkan sehingga dapat dijadikan andalan di pasar regional maupun global.
Lalu upaya-upaya apa saja yang sekiranya bisa ditempuh agar petani di Indonesia dalam rangka menghadapi pemberlakuan AEC 2015 nanti, diantaranya adalah :
  1. Pemerintah dan pihak-pihak terkait harus segera menganalisa kekuatan dan kelemahan di sektor pertanian dan membuat rumusan.
  2. Perlu adanya sosialisasi intensif mengenai pemberlakuan AEC dan strategi untuk menghadapinya, kepada petani yang dibuat dengan bahasa sederhana agar mudah diterima petani.
  3. Menemukan teknologi efisien, yang bertujuan untuk menghasilkan produk dengan BEP rendah. BEP serendah mungkin bila dibandingkan dengan komoditas yang sama dari negara pesaing, sehingga harga jual produk pertanian Indonesia dipasaran bisa lebih terjangkau. Bagaimana hal ini dapat dicapai, salah satunya adalah dengan kembali menerapkan prinsip sistem pertanian organik dimana selain dapat menjaga kelestarian ekosistem/lingkungan juga dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu dapat ditempuh dengan melakukan penerapan SOP/GAP spesifik lokasi dan komoditas.
  4. Membangun dan memperkuat kelembagaan gapoktan/kelompok tani. Kemampuan teknik budidaya dan manajemen petani yang masih rendah harus ditingkatkan, dan hal ini tidak lepas dari peran serta petugas dan pemerintah. Petani diajarkan bagaimana caranya berbudidaya yang baik, menguntungkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga tani itu sendiri.
  5. Menjalin kerjasama/kemitraan dan jejaring pasar secara nasional. Harus ada kemitraan yang kuat antar wilayah-wilayah pertanian di Indonesia. Serta perlu pengembangan sentra/daerah kawasan dengan komoditas spesifik lokasi.
  6. Membangun rasa cinta/semangat nasionalisme terhadap produk pertanian nasional. Di DIY hal ini sudah mulai dilakukan di Kabupaten Kulonprogo dengan semboyannya “Bela dan Beli Kulonprogo”.
  7. Menerapkan standar mutu internasional dalam rangka peningkatan kualitas produk, kuantitas dan kontinuitas.
Harapannya dengan persiapan yang tepat maka produk pertanian Indonesia akan tetap eksis tidak kalah bersaing dengan produk pertanian dari negara ASEAN lainnya.

sumber:

http://distan.pemda-diy.go.id/distan11/index.php?option=com_content&view=article&id=8344:persiapan-sektor-pertanian-dalam-menghadapi-pemberlakuan-aec-2015&catid=41:artikel&Itemid=514

Sent by :


Nama : Ayu Prihandani
NIM  : 13276